MEMAHAMI
HADIS-HADIS TENTANG
PAKAIAN YANG
TERJULUR DI BAWAH MATA KAKI
(Syarh al-Hadits
dalam Shahih Bukhari dan Muslim)
Mahmud Suyuti
Dosen Hadis UIM Makassar
.
I. PENDAHULUAN
Peradaban manusia tidak selalu sama antara satu tempat
dengan tempat lainnya, bahkan peradaban itu senantiasa berubah dari generasi ke
generasi secara turun temurun. Kalau ajaran Islam benar-benar diyakini
keuniversalan-nya, tentu keberlakuannya tidak terikat oleh tempat tententu dan
waktu tertentu dari generasi ke generasi. Hanya saja, Nabi saw yang diutus
untuk membawa ajaran Islam itu harus dilihat poisinya yang multi
dimensi.
Dalam Alquran sendiri dinyatakan bahwa beliau sebagai
manusia biasa[1] yang
berperan dalam berbagai fungsi, misalnya sebagai rasul, kepala negara, pemimpin
masyarakat, panglima perang, hakim[2]
dan selainnya. Dalam hal ini, ketika hadis Nabi saw disabdakan dalam
kedudukannya sebagai rasul maka keberanannya tidak diragukan lagi sebab
sumbernya dari Allah swt. Jika kedudukannya sebagai kepala negara, maka kebenarannya
khusus berlaku bagi negaranya dan belum tentu benar dan berlaku untuk negara
lain. Jika kedudukannya sebagai mufti, maka kebenarannya berlaku umum bagi
setiap Muslim. Jika kedudukannya sebagai hakim, maka kebenarannya bersifat
formal karena hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Jika
kedudukannya sebagai pribadi, maka kebenarannya untuk dirinya sendiri karena
setiap manusia berbeda watak dan karakternya.[3]
Dengan demikian, maka hadis-hadis Nabi saw mesti dikaitkan dengan perannya
tatkala hadis itu disabdakan.
Sehubungan dengan itu, maka pengkajian hadis-hadis dalam
berbagai kitab hadis, haruslah berdasar pada tolok ukur pada diri Nabi saw yang
multi dimensi itu, karena mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat
dipahami secara tekstual dan hadis lainnya lebih tepat dipahami secara
kontekstual.
Akibat dari pemahaman hadis-hadis Nabi saw yang tidak
berdasar pada tolok ukur di atas, akan menimbulkan berbagai ikhtilâf (perbedaan
pendapat) dalam perealisasiannya. Misalnya saja, sebagian umat Islam dewasa ini
sudah banyak bersilang pendapat dalam memahami teks hadis tentang “Menjulurkan
Pakaian Sampai di Bawah Mata Kaki”[4]
yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim.
Dari teks hadis yang dimaksud, oleh sebagian umat Islam
memahaminya sebagai pelarangan secara qath‘iy menjulurkan pakaian
(celana/sarung) sampai di bawah mata kaki, sementara sebagian lainnya
memahaminya sebagai pelarangan karena adanya illat dalam hadis, yakni
sebab kesombongan. Pemahaman dari dua kelompok yang berbeda ini, menyebabkan
pengamalan hadis tersebut berbeda pula. Sehingga, ditemukan sebagian umat
Muslim dalam kesehariannya senantiasa tidak menjulurkan celana atau sarungnya
di bawah mata kakinya dan demikian pula sebaliknya.
Kasus di atas, mengundang penulis untuk mengkaji hadis
tersebut secara spesifik dengan permasalahan ; bagaimana memahami hadis tentang
men-julurkan pakaian yang menjadi ikhtilâf di kalangan umat Islam ? . Untuk menjawab
permasalahan ini, terlebih dahulu dikemukakan sebab-sebab ikhtilâf-nya
dan pemahaman ulama terhadap hadis tersebut.
Hadis-hadis yang
dikaji ini, dapat ditemukan dalam berbagai kitab hadis.[5]
Namun, penulis hanya merujuk pada ShahihBukhâri dan Shahih Muslim
yang selama ini dijadikan sebagai kitab standar utama dalam mengutip hadis-hadis.
Signifikansinya, untuk memahami hadis tersebut secara benar sehingga umat Islam
menghindarkan diri dari polemik yang berkepanjangan dalam pengamalannya.
II. SEBAB-SEBAB
IKHTILAF DAN PANDANGAN ULAMA DALAM
MEMAHAMI HADIS
Terjadinya pemahaman yang
berbeda-beda terhadap hadis tentang “Menjulurkan Pakaian di Bawah Mata Kaki”,
disebabkan adanya dua hadis yang membicarakan tema tersebut dalam konteks yang
berbeda pula . Yakni :
1. Adanya indikasi
pelarangan menjulurkan pakaian di bawah mata kaki, karena adanya illat (sebab)
kesombongan, sebagaimana hadis berikut :
a. Riwayat Imâm Bukhâri
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ
عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا. [6]
Artinya :
‘Abdullah bin
Yûsuf memberitakan kepada kami, berkata: Mâlik memberitakan kepada kami,
berkata: dari Abi al-Zinâd, berkata: dari al-A‘raj berkata: dari Abi Hurayrah
berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : Allah tidak memperhatikan orang-orang pada
hari kiamat bagi yang menjulurkan kaiannya karena sombong.
b. Riwayat Imâm
Muslim
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ كُلُّهُمْ يُخْبِرُهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ
إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ [7]
Artinya :
Yahya bin Yahya
memberitakan kepada kami, berkata: Mâlik telah membacakan (hadis) kepadaku,
berkata; dari Nâfi‘ dan ‘Abdullah bin Dînar dan Zaid bin Aslam, (mereka)
berkata: kami diberitakan oleh Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah saw bersabda : Allah
tidak memperhatikan orang-orang pada hari kiamat bagi yang men-julurkan
kaiannya karena sombong.
2. Adanya indikasi
pelarangan menjulurkan pakaian di bawah mata kaki tanpa illat (sebab)
kesombongan, sebagaimana hadis berikut :
a. Riwayat Imâm Bukhâri
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنَ
الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ [8]
Artinya :
Âdam
memberitakan kepada kami, berkata: Syu‘bah memberitakan kepada kami, berkata :
Sa‘îd bin Abi Sa‘îd al-Maqburiy memberita-kan kepada kami, berkata: dari Abi
Hurayrah ra berkata; dari Nabi saw bersabda : Yang di bawah mata kaki dari pada
kain (pakaian), maka itu bagian api neraka.
b. Riwayat Imâm Muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُدْرِكٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ خَرَشَةَ بْنِ
الْحُرِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ وَ لاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَللاَ ثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو
ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ
وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ [9]
Artinya :
Abû Bakar bin Abi Syaybah dan Muhammad bin al-Mutsanna serta Ibn
Basysyâr memberitakan kepada kami, berkata:
Muhammad bin Ja‘far memberitakan kepada kami, berkata: dari Syu‘bah berkata:
dari ‘Ali bin Mudrak berkata: dari Abi Zur‘ah, berkata: dari Harsya bin
al-Hurri, berkata: dari Abi Zar, berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiga or yang
tidak bakal diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak dilihat dan
tidak akan dibersihkan, serta baginya siksa yang sangat pedih. Kata-kata Nabi
saw tersebut setelah diulang (nya) tiga kali, Abû Zar lalu berkata: kecewa
benar mereka dan sangat rugi, siapakah mereka itu ya Rasulullah ? jawab beliau
: Yang menurunkan kain di bawah mata kaki, yang menyebut-nyebut pemberian
(nya), dan yang menjual barang dengan sumpah palsu.
Dari hadis-hadis di atas, oleh ulama memiliki pemahaman
yang berbeda terhadapnya. Di antaranya :
1.
Al-Asqalâni
dalam kitab Fath al-Bâriy menyatakan bahwa menjulurkan pakaian yakni
sarung atau celana dan semacamnya di bawah mata kaki karena disertai
kesombongan maka haram hukumya dan termasuk dosa besar. Tetapi, bila tidak
sertai sikap kesombongan maka keharamannyapun hilang.[10]
2.
Al-Nawâwi dalam
kitab Syarah-nya menyatakan bahwa pada dasarnya menjulurkan pakaian
adalah salah satu sikap kesombongan yang telah menjadi tradisi orang-orang Arab
terdahulu, bahkan di antara mereka ada yang sampai menyeret pakaiannya di bawah
tanah. Karena itu, kelakukan yang demikian secara otomatis yang
memperagankannya termasuk orang yang sombong, sehingga menjulurkan pakaian
adalah suatu hal yang dilarang oleh agama.[11]
3.
Al-Mubârakfûri
dalam kitab Tuhfah al-Ahwâs menyatakan bahwa men-julurkan pakaian dalam
berbagai bentuk, misalnya surban, baju, sarun, celana dan semacamnya yang
hampir menyentuh tanah adalah haram karena tidak termasuk etika yang baik dan
hal seperti ini sungguh dilarang oleh agama.[12]
4.
Al-Abadiy dalam
kitab ‘Awn al-Ma‘bûd menyatakan bahwa ruang lingkup dari ancaman dalam
hadis adalah sikap kesombongan. Karena itu, menjulurkan pakaian karena sombong
adalah dilarang, sedangkan men-julurkan pakaian tanpa sikap sombong tidak
dilarang.[13]
5.
Al-Faqîh Ibn
‘Abd. Albâr menyatakan bahwa apabila perbuatan menyeret pakaian melewati di
bawah mata kaki bukan karena kesombongan, maka ancaman dalam hadis tidak
berlaku, walaupun hakikat dari perbuatan itu tetap tercela.[14]
Dari pandangan-pandangan di atas, oleh sebagian ulama ada
yang memahami hadis-hadis yang dikutip terdahulu secara ketat ada pula yang
memahaminya secara moderat. Dalam hal ini, bagi al-Nawâwi dan al-Mubârakfûri
memahami hadis tersebut secara ketat, sehingga dalam keadaan apapun pelarangan
menjulurkan pakaian tetap berlaku dan agama meng-haramkannya. Sedangkan
al-Asqalâni, al-Abadiy dan al-Faqîh Ibn ‘Abd. Albâr memahami hadis tersebut
secara moderat, sehingga pelarangan menjulurkan pakaian hanya berlaku bagi
mereka yang ingin besikap sombong.
Jika pendapat ulama-ulama lainnya ditelusuri lebih lanjut,
tentu saja akan menghasilkan rumusan kesimpulan yang bekisar pada ketentuan
yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang
disebutkan di atas. Karena itu, cukuplah hal ini menjadi dasar bahwa hadis-hadis
tentang menjulurkan pakaian telah dipahami secara berbeda-beda. Akibatnya,
pengamalan hadis tersebut berbeda-beda pula di kalangan umat Islam.
III. UPAYA MEMAHAMI HADIS SECARA AKURAT DALAM MERETAS
IKHTILAF
A. Kandungan Hadis dan Sabab Wurud
Ditegaskan secara global (ijmâli) bahwa hadis pada
poin pertama yang telah dikutip, merupakan dalil pelarangan menjulurkan pakaian
yang panjangnya sampai menutupi mata kaki, apalagi sampai menyeretnya di tanah
bila disertai sikap sombong. Akan tetapi, bila perbuatan tersebut tidak
disertai dengan sikap sombong, maka tidak berlaku pelarangan atasnya. Sedangkan
hadis kedua, merupakan dalil pelarangan menjulurkan pakaian secara mutlak.
Dengan kata lain, walaupun tidak disertai sikap sombong, pelarangan dalam hadis
tetap berlaku.
Menurut jumhûr al-muhadditsîn terjadinya suatu
hadis karena disebabkan oleh sesuatu yang diistilahkan dengan asbâb al-wurûd
al-hadîts, tetapi ada pula sebagian hadis yang tidak didahului sebab tertentu.[15]
Karena itulah, berikut ini hanya dikemukakan satu buah asbâb al-wurûd dari
empat hadis yang dikutip terdahulu. Alasannya, karena hanya satu hadis itulah
yang ditemukan asbâb al-wurud-nya dalam berbagai kitab rujukan. Hadis
yang dimaksud adalah tentang pelarangan menjulurkan pakaian karena disertai
sikap sombong yang bersumber dari Abû Huaryrah, yakni :
Abu Hurayrah telah melihat seorang raja[16] yang
menurunkan pakaiannya untuk menghadap kepada Nabi saw. dan Nabi pun melihat
raja itu datang kepadanya dengan kondisi pakaian yang demikian. Lalu, Abu Hurayrah berkata di depan
Nabi saw : datang seorang raja datang seorang raja (dua kali). Lalu Nabi saw
bersabda :لاَ
يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا [17] (Allah
tidak memperhatikan orang-orang pada hari kiamat bagi yang menjulurkan kaiannya
karena sombong).
B. Implementasi Maksud Hadis
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan bagaimana tipe dan
mode pakaian yang harus digunakan, selama pakaian itu sesuai dengan ketentuan
agama. Sehingga Nabi saw sendiri senantiasa menyesuaikan bentuk pakaian yang
harus digunakannya. Misalnya saja, kalau beliau dalam peperangan maka pakaian
yang sering digunakannya adalah baju besi, sementera dalam suasana lain, maka
lain pula bentuk pakaiannya. Hanya saja, pakaian yang lazim digunakan bangsa
Arab sejak zaman dulu sampai sekarang ini adalah jubah, yakni kemeja
longgar-longgar dan agak tipis yang panjangnya sampai di atas mata kaki. Bentuk
pakaian seperti ini, memang cocok untuk bangsa Arab karena iklimnya yang panas.
Bahkan dengan iklim yang demikian itu, mengharuskan mereka untuk memakai igal[18]
sampai ke punggung untuk menghalang sengatan terik matahari. Lain halnya
dengan orang-orang di luar jazirah Arab yang iklimnya dingin, mereka lebih
memilih kemeja yang ketat dan tebal untuk merasakan kehangatan. Kalau begitu,
tipe dan mode pakaian harus disesuaikan dengan kondisi. Itulah sebabnya
sehingga dalam QS. al-Nahl (16): 81 Allah swt berfirman :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ
لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ
وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُون َ(81)
Terjemahnya :
Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang
telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di
gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang me-meliharamu dari panas dan
pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah
menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).[19]
Berdasar dari ayat di atas, maka pakaian di sini berfungsi
sebagai pemeliharaan tubuh terhadap sengatan panas dan dingin. Interpretasinya,
agama sangat menganjurkan kepada para desainer dan tukang jahit untuk
memproduksi berbagai bentuk pakaian yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat. Sehingga, setiap masyarakat dari masa ke masa boleh saja menentukan
tipe dan mode pakaian sesuai kebutuhan.
Implikasi yang ditimbulkan akibat tipe dan mode pakaian
itu, sungguh telah menjadi realita di zaman modern ini dengan munculnya
berbagai jenis pakaian dan masyarakatpun dengan leluasa menggunakannya sesuai
dengan kondisi yang dihadapinya. Misalnya saja, stelan jas banyak diguna-kan
ketika hendak ke acara seminar, pesta dan pertemuan-pertemuan resmi; stelan
kaos banyak digunakan ketika hendak bersantai, berpiknik dan berolahraga.
Implikasi berikutnya, muncul pula berbagai merek pakaian yang disesuaikan
dengan selera masyarakat. Misalnya saja, batik bagi orang tua dan levis bagi
anak muda masa kini.
Kesemua tipe dan mode pakaian di atas, tentu saja tidak
bertentangan dengan ajaran agama sepanjang dapat digunakan untuk menutup aurat,
karena ide dasar dari perintah untuk berpakaian adalah untuk menutup aurat.[20]
Lalu, kenapa Nabi saw memberi pelarangan untuk menjulurkan pakaian sampai di
bawah mata kaki ? Jawabnya, pelarangan itu hanya bersifat individu yang
ditujukan kepada orang-orang yang bersikap sombong misalnya sang raja[21]
yang datang kepada Nabi saw. Di samping itu, pelarangan dalam hadis hanya
berlaku pada zaman Nabi saw, karena telah menjadi budaya (ketika itu) bahwa
nilai menjulurkan pakaian sambil berjalan sebagai suatu kesombongan. Itulah
sebabnya sehingga agama melarang berjalan di bumi ini dalam keadaan sombong.[22]
Terkait dengan jawaban di atas, perlu pula dipahami bahwa
di antara tujuan disyariatkan untuk berpakaian adalah sebagai perhiasan,[23]
sehingga agama menganjurkan untuk memakai perhiasan itu, lebih-lebih ketika
hendak berkunjung ke mesjid.[24]
Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok.[25]
Memang Alquran tidak menjelaskan, apalagi merinci apa yang disebut dengan
perhiasan, atau sesuatu yang elok tetapi dapat dipahami bahwa yang sesuatu yang
elok adalah yang menghasilkan keserasian.[26]
Untuk stelan jas, sangat serasi jika kainnya sampai menutupi mata kaki, stelan
baju tentara sangat serasi jika kainnya sampai menutupi mata kaki, stelan baju tim pemadam kebakaran
sangat serasi bila kainnya sampai menutupi mata kaki, stelan baju kantoran
sangat serasai bila kainnya sampai menutupi mata kaki, yang kesemuanya ini
telah menjadi ketetapan para desainer dan tukang jahit. Dengan stelan-stelan
pakaian seperti itu pula, belum pernah difatwakan oleh ulama (khususnya MUI)
sebagai suatu pakaian yang dianggap haram.
Sangatlah ironis bila stelan pakaian di atas, dengan
sengaja dilipat ke atas dengan maksud untuk memperlihatkan mata kaki, karena
dengan begitu tentu akan menghilangkan keserasian dan juga tidak menghargai
profesi para desainer yang memang ahli di bidang itu. Bahkan, sikap seperti itu
mungkin saja dapat dikategorikan sebagai suatu kesombongan. Lain halnya bila berjalan
di genangan air, tentu saja terwujud keserasian bila pakaian dilipat ke atas
atau bahkan digulung sampai ke lutut guna menghindari percikan genangan air.
Penjelasan di atas, tentu saja akan bermuara pada
penyataan Imâm al-Ghazâli bahwa :
Sebagian di antara para pemuda mengira bahwa jubah (kemeja
yang panjangnya sampai di atas mata kaki) adalah pakaian atau seragam Islam.
Dan bahwa stelan baju dan celana adalah pakaian orang kafir ! Pendapat seperti
ini keliru …
Di pelbagai ibukota internasional, jubah Arab kini justru
menjadi perlambang keborosan yang dungu, pelampiasan syahwat hawa nafsu yang
liar dan gila-gilaan. Dengan cara seperti itukah kita berkhidmat kapada Islam
dan menyebarkan dakwahnya ?[27]
Karena itulah, hadis tentang menjulurkan pakaian karena
(niat) sombong atau tidak (dengan niat) sombong harus dipahami subtansinya
secara akurat dengan melihat kondisi budaya Arab ketika hadis itu disabdakan
oleh Nabi saw.
Dalam berbagai dalilpun tidak ditemukan penjelasan tentang
motif dan mode pakaian yang harus dipakai oleh setiap Muslim dalam
kesehariannya. Dengan demimian, persoalan tentang pakaian yang terjulur di atas
atau di bawah mata kaki adalah persoalan budaya. Semakin maju budaya umat
manusia, semakin bervariasi pula motif dan mode pakaian manusia itu.
IV. PENUTUP
Hadis-hadis tentang menjulurkan pakaian yang terdapat
dalam Shahîh Bukhâri dan Shahîh Muslim, telah menjadi obyek ikhtilâf
dalam cara memahaminya. Yakni, sebagian umat Islam memahami bahwa pakaian
yang terjulur ke bawah tidak boleh melewati mata kaki secara mutlak, sementara
sebagian lainnya memahami bahwa pakaian yang terjulur ke bawah boleh saja
melewati mata kaki sepanjang tidak disertai sikap sombong. Dari pemahaman yang
berbeda-beda itu, mengakibatkan cara pengamalan-nyapun berbeda-beda.
Terlepas dari perbedaan pemahaman dan pengamalan terhadap
hadis-hadis tentang menjulurkan pakaian, maka secara obyektif dapat dinyatakan
bahwa setelah mengetahui maksud hadis itu secara komprehensif dan menyimak asbâb
al-wurud-nya, serta merelevansikan corak budaya Arab ketika hadis
disabdakan akan bermuara pada suatu rumusan bahwa agama tidak melarang
menjulurkan pakaian ke bawah melewati mata kaki. Asalkan saja, pakaian yang
dimaksud memang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian pelarangan
dalam hadis hanya dikhususkan pada zaman Nabi saw, yang ketika itu nilai-nilai
menjulurkan pakaian adalah suatu kesombongan.
Untuk budaya zaman sekarang, rupa-rupanya menjulurkan
pakaian ke bawah melewati mata kaki tidaklah dinilai sebagai suatu kesombongan,
melainkan dinilai sebagai suatu keserasian dalam berpakaian dan ajaran agama
sangat menuntut keserasian seperti itu. Bahkan, agama dalam hal ini memberi
peluang kepada para desainer untuk mempersembahkan berbagai tipe dan mode
pakaian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Asalkan saja, tipe dan mode pakaian
itu dapat digunakan untuk menutup aurat.
Wallahu A’lam bi al-Sawab[].
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abadiy, Abû al-Thâyb Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm. ‘Awn
al-Ma‘bûd Syah Sunan Abû Dâwud, juz XI. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Asqalâni, Ahmad bin Hajar. Fath al-Bâry bi Syarh
Shahîh al-Bukhâri, juz X. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th.
Al-Bukhâriy, Abû ‘Abdullah ibn Ismâ‘îl
ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrat ibn Bardizbât. Shahîh al-Bukhâri, juz VII.
Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya:
Mahkota, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi II. Cet.I; Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Al-Ghazâli, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah Bayna Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul
Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.
Cet. V; Bandung: Mizan, 1989.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan
Press Ltd, 1974.
Ibn Fâris bin Zakariyah, Abû al-Husayn
Ahmad. Mu‘jam Maqâyis al-Lugah, juz VI. t.t. Dâr al-Fikr, t.th.
Ibn Hamzah al-Husayni, Ibrâhim Muhammad. al-Bayân wa
al-Ta‘rîf Asbâb al-Wurûd al-Hadîts al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Turâts al-‘Arabi,
t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Cet.I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
. Hadis nabi
yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam
yang Universal Temporal dan Lokal. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang 1994.
Al-Mubârakfûri, Abû al-A‘lâ Muhammad bin ‘Abd. al-Rahmân. Tuhfah
al-Ahwâs bi Syarh al-Turmûziy, juz V. t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Al-Naisabûri, Muslim ibn al-Hajjâj
al-Qusayrî. Şahîh Muslim, jilid III. Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah,
t.th.
Al-Nawâwi, Abû Zakariyah Yahya ibn Syaraf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, juz XIII. Me¡ir: Dâr al-Fikr, 1981.
. Riyâ«
al-Shâlihîn diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dengan judul yang sama.
Cet. X; Bandung: Al-Ma’arif, 1987.
Al-Shan‘âniy, Muhammad bin Ismâ‘îl al-Kahlâni. Subul
al-Salâm bi Syah Bulûg al-Marâm, juz IV. Bandung: Maktabah Dahlan,
t.th.
Shihab, M. Quraish. Kata Pengantar dalam Muhammad
al-Baqir, terjemahan buku dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw;
Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Cet. V; Bandung: Mizan, 1989.
. Wawasan
Al-Quran; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. II; Bandung,
Mizan, 1996.
Wensinck, Arnold John. et al, Concordance et Indices De
Ela Tradition Musulmanne, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad
Fû’ad Abd. al-Bâqiy dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadîts
al-Nabawiyah, jilid I, II dan VI. Leiden: E.J.Brill, 1936.
[]
[1]Lihat
QS. Ali ‘Imrân (3): 144 dan QS. al-kahfi (18): 110
[2]Philip
K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1974),
h. 139.
[3]Lihat
M. Quraish Shihab, Kata Pengantar dalam Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah
al-Nabawiyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, diterjemahkan oleh
Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Cet. V; Bandung: Mizan, 1989), h. 9-10
[4]Susunan
sanad dan matan hadis sesuai redaksi aslinya akan dikemukakan pada uraian-uaraian
berikutnya.
[5]Lihat
misalnya; Sunan Abû Dawûd dalam Kitâb
Libâs bab 25-27, Kitâb Nikâh bab 42, Kitâb Shalâh bab 71-72; Sunan
al-Turmûziy dalam Kitâb Libâs bab 7-9, Kitâb Buyû‘ bab 5; Sunan
al-Nasâiy dalam Kitâb Zakâh bab 29, Kitâb Zinah‘ bab 17; Sunan
Ibn Mâjah dalam Kitâb Libâs bab 2, Kitâb Masâjid bab 14; Muwaththa’
Mâlik dalam Kitâb Libâs nomor hadis 9-12; Sunan al-Dârimiy dalam
Kitâb Riqâq bab 45; Musnad Ahmad bin Hanbal dalam juz I halaman
38, 322, 397, juz II halaman 5, 10, 32, 42, juz III halaman 44, 89, juz IV
halaman 65, 67, 180, 246, juz V halaman 23, 24, 79 dan juz VI halaman 200.
Data-data ini, diperoleh dari Arnold John Wensinck, et al, Concordance et
Indices De Ela Tradition Musulmanne, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Muhammad Fû’ad Abd. al-Bâqiy dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfazh al-Hadîts
al-Nabawiyah, jilid I (Leiden: E.J.Brill, 1936), h. 59,
juz II h. 104-105; juz VI h. 476.
[6]Abû ‘Abdullah Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Ibrâhîm ibn
al-Mughîrat ibn Bardizbât al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâri, juz VII
(Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th). h. 44.
[7]Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusayrî al-Naisabûri, Şahîh
Muslim, jilid III (Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th.), h.
1651
[8]al-Bukhâri,
op. cit., h. 45.
[9]Muslim,
loc. cit.
[10]Lihat
Ahmad bin Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâry bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz X (t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th.), h.
263.
[11]Lihat
Abû Zakariyah Yahya ibn Syaraf al-Nawâwi, Shahîh Muslim
bi Syarh al-Nawawi, juz XIII (Me¡ir: Dâr al-Fikr,
1981), h. 60 dan 63.
[12]Lihat
Abû al-A‘lâ Muhammad bin ‘Abd. al-Rahmân al-Mubârakfûri, Tuhfah al-Ahwâs bi
Syarh al-Turmûziy, juz V (t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th), h. 407.
[13]Lihat
Abû al-Thâyb Muhammad Syams al-HAlquran al-‘Azhîm al-Abadiy, ‘Awn al-Ma‘bûd
Syah Sunan Abû Dâwud, juz XI (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 142.
[14]Demikian
pendapat al-Faqîh Ibn ‘Abd. Albâr yang termaktub dalam al-Asqalâni, loc. cit.
[15]Uraian
lebih lanjut, lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis nabi yang Tekstual dan
Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal
Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang 1994), h. 5
[16]Riwayat
tidak menyebutkan nama dan asal raja tersebut. Hal ini, dimungkinkan karena
memang Nabi saw seringkali menerima tamu dari raja-raja (dari berbagai wilayah)
dan semua raja ketika itu menggunakan pakaian yang panjangnya sampai menutupi
mata kaki.
[17]Lihat
Ibrâhim Muhammad ibn Hamzah al-Husayni, op. cit.,. cit., h. 418-419.
[18]Igal
adalah pakaian yang dipakai di kepala untuk lelaki bangsa Arab. Lihat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
II (Cet.I; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 366
[20]Lihat
QS. al-A‘râf (7): 27.
[21]Lihat
kembali fotnoote 29-30,
[22]Lihat
QS. al-Isrâ’ (17): 37 dan QS. Luqmân (31): 18.
[23]Lihat
QS. al-A‘râf (7): 26
[24]Lihat
QS. al-A‘râf (7): 31.
[25]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI., op. cit., h. 349.
[26]Lihat
M. Quraish Shibab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan
Umat (Cet. II; Bandung, Mizan, 1996), h. 163
[27]Muhammad
al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, diterjemahkan
oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Cet. V; Bandung: Mizan, 1989), h. 112