Minggu, 14 September 2014

isbal mata kaki



MEMAHAMI HADIS-HADIS TENTANG
PAKAIAN YANG TERJULUR DI BAWAH MATA KAKI
(Syarh al-Hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim)
Mahmud Suyuti
Dosen Hadis UIM Makassar
.

 

I. PENDAHULUAN

Peradaban manusia tidak selalu sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, bahkan peradaban itu senantiasa berubah dari generasi ke generasi secara turun temurun. Kalau ajaran Islam benar-benar diyakini keuniversalan-nya, tentu keberlakuannya tidak terikat oleh tempat tententu dan waktu tertentu dari generasi ke generasi. Hanya saja, Nabi saw yang diutus untuk membawa ajaran Islam itu harus dilihat poisinya yang multi dimensi.
Dalam Alquran sendiri dinyatakan bahwa beliau sebagai manusia biasa[1] yang berperan dalam berbagai fungsi, misalnya sebagai rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim[2] dan selainnya. Dalam hal ini, ketika hadis Nabi saw disabdakan dalam kedudukannya sebagai rasul maka keberanannya tidak diragukan lagi sebab sumbernya dari Allah swt. Jika kedudukannya sebagai kepala negara, maka kebenarannya khusus berlaku bagi negaranya dan belum tentu benar dan berlaku untuk negara lain. Jika kedudukannya sebagai mufti, maka kebenarannya berlaku umum bagi setiap Muslim. Jika kedudukannya sebagai hakim, maka kebenarannya bersifat formal karena hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Jika kedudukannya sebagai pribadi, maka kebenarannya untuk dirinya sendiri karena setiap manusia berbeda watak dan karakternya.[3] Dengan demikian, maka hadis-hadis Nabi saw mesti dikaitkan dengan perannya tatkala hadis itu disabdakan.
Sehubungan dengan itu, maka pengkajian hadis-hadis dalam berbagai kitab hadis, haruslah berdasar pada tolok ukur pada diri Nabi saw yang multi dimensi itu, karena mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tekstual dan hadis lainnya lebih tepat dipahami secara kontekstual.
Akibat dari pemahaman hadis-hadis Nabi saw yang tidak berdasar pada tolok ukur di atas, akan menimbulkan berbagai ikhtilâf (perbedaan pendapat) dalam perealisasiannya. Misalnya saja, sebagian umat Islam dewasa ini sudah banyak bersilang pendapat dalam memahami teks hadis tentang “Menjulurkan Pakaian Sampai di Bawah Mata Kaki”[4] yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim.
Dari teks hadis yang dimaksud, oleh sebagian umat Islam memahaminya sebagai pelarangan secara qath‘iy menjulurkan pakaian (celana/sarung) sampai di bawah mata kaki, sementara sebagian lainnya memahaminya sebagai pelarangan karena adanya illat dalam hadis, yakni sebab kesombongan. Pemahaman dari dua kelompok yang berbeda ini, menyebabkan pengamalan hadis tersebut berbeda pula. Sehingga, ditemukan sebagian umat Muslim dalam kesehariannya senantiasa tidak menjulurkan celana atau sarungnya di bawah mata kakinya dan demikian pula sebaliknya.
Kasus di atas, mengundang penulis untuk mengkaji hadis tersebut secara spesifik dengan permasalahan ; bagaimana memahami hadis tentang men-julurkan pakaian yang menjadi ikhtilâf  di kalangan umat Islam ? . Untuk menjawab permasalahan ini, terlebih dahulu dikemukakan sebab-sebab ikhtilâf-nya dan pemahaman ulama terhadap hadis tersebut.
Hadis-hadis yang dikaji ini, dapat ditemukan dalam berbagai kitab hadis.[5] Namun, penulis hanya merujuk pada ShahihBukhâri dan Shahih Muslim yang selama ini dijadikan sebagai kitab standar utama dalam mengutip hadis-hadis. Signifikansinya, untuk memahami hadis tersebut secara benar sehingga umat Islam menghindarkan diri dari polemik yang berkepanjangan dalam pengamalannya.

II. SEBAB-SEBAB IKHTILAF DAN PANDANGAN ULAMA DALAM
   MEMAHAMI HADIS
Terjadinya pemahaman yang berbeda-beda terhadap hadis tentang “Menjulurkan Pakaian di Bawah Mata Kaki”, disebabkan adanya dua hadis yang membicarakan tema tersebut dalam konteks yang berbeda pula . Yakni :
1.   Adanya indikasi pelarangan menjulurkan pakaian di bawah mata kaki, karena adanya illat (sebab) kesombongan, sebagaimana hadis berikut :
a. Riwayat Imâm Bukhâri
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا. [6]
Artinya :
‘Abdullah bin Yûsuf memberitakan kepada kami, berkata: Mâlik memberitakan kepada kami, berkata: dari Abi al-Zinâd, berkata: dari al-A‘raj berkata: dari Abi Hurayrah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : Allah tidak memperhatikan orang-orang pada hari kiamat bagi yang menjulurkan kaiannya karena sombong.

b. Riwayat Imâm Muslim
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ كُلُّهُمْ يُخْبِرُهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ [7]
Artinya :
Yahya bin Yahya memberitakan kepada kami, berkata: Mâlik telah membacakan (hadis) kepadaku, berkata; dari Nâfi‘ dan ‘Abdullah bin Dînar dan Zaid bin Aslam, (mereka) berkata: kami diberitakan oleh Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah saw bersabda : Allah tidak memperhatikan orang-orang pada hari kiamat bagi yang men-julurkan kaiannya karena sombong.
2. Adanya indikasi pelarangan menjulurkan pakaian di bawah mata kaki tanpa illat (sebab) kesombongan, sebagaimana hadis berikut :
a. Riwayat Imâm Bukhâri
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ [8]

Artinya :
Âdam memberitakan kepada kami, berkata: Syu‘bah memberitakan kepada kami, berkata : Sa‘îd bin Abi Sa‘îd al-Maqburiy memberita-kan kepada kami, berkata: dari Abi Hurayrah ra berkata; dari Nabi saw bersabda : Yang di bawah mata kaki dari pada kain (pakaian), maka itu bagian api neraka.
b. Riwayat Imâm Muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالُوا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُدْرِكٍ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ خَرَشَةَ بْنِ الْحُرِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَ لاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَللاَ ثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ [9]
Artinya :
Abû Bakar bin Abi Syaybah dan Muhammad bin al-Mutsanna serta Ibn Basysyâr  memberitakan kepada kami, berkata: Muhammad bin Ja‘far memberitakan kepada kami, berkata: dari Syu‘bah berkata: dari ‘Ali bin Mudrak berkata: dari Abi Zur‘ah, berkata: dari Harsya bin al-Hurri, berkata: dari Abi Zar, berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiga or yang tidak bakal diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak dilihat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya siksa yang sangat pedih. Kata-kata Nabi saw tersebut setelah diulang (nya) tiga kali, Abû Zar lalu berkata: kecewa benar mereka dan sangat rugi, siapakah mereka itu ya Rasulullah ? jawab beliau : Yang menurunkan kain di bawah mata kaki, yang menyebut-nyebut pemberian (nya), dan yang menjual barang dengan sumpah palsu.
Dari hadis-hadis di atas, oleh ulama memiliki pemahaman yang berbeda terhadapnya. Di antaranya :
1.      Al-Asqalâni dalam kitab Fath al-Bâriy menyatakan bahwa menjulurkan pakaian yakni sarung atau celana dan semacamnya di bawah mata kaki karena disertai kesombongan maka haram hukumya dan termasuk dosa besar. Tetapi, bila tidak sertai sikap kesombongan maka keharamannyapun hilang.[10]
2.      Al-Nawâwi dalam kitab Syarah-nya menyatakan bahwa pada dasarnya menjulurkan pakaian adalah salah satu sikap kesombongan yang telah menjadi tradisi orang-orang Arab terdahulu, bahkan di antara mereka ada yang sampai menyeret pakaiannya di bawah tanah. Karena itu, kelakukan yang demikian secara otomatis yang memperagankannya termasuk orang yang sombong, sehingga menjulurkan pakaian adalah suatu hal yang dilarang oleh agama.[11]
3.      Al-Mubârakfûri dalam kitab Tuhfah al-Ahwâs menyatakan bahwa men-julurkan pakaian dalam berbagai bentuk, misalnya surban, baju, sarun, celana dan semacamnya yang hampir menyentuh tanah adalah haram karena tidak termasuk etika yang baik dan hal seperti ini sungguh dilarang oleh agama.[12]
4.      Al-Abadiy dalam kitab ‘Awn al-Ma‘bûd menyatakan bahwa ruang lingkup dari ancaman dalam hadis adalah sikap kesombongan. Karena itu, menjulurkan pakaian karena sombong adalah dilarang, sedangkan men-julurkan pakaian tanpa sikap sombong tidak dilarang.[13]
5.      Al-Faqîh Ibn ‘Abd. Albâr menyatakan bahwa apabila perbuatan menyeret pakaian melewati di bawah mata kaki bukan karena kesombongan, maka ancaman dalam hadis tidak berlaku, walaupun hakikat dari perbuatan itu tetap tercela.[14]
Dari pandangan-pandangan di atas, oleh sebagian ulama ada yang memahami hadis-hadis yang dikutip terdahulu secara ketat ada pula yang memahaminya secara moderat. Dalam hal ini, bagi al-Nawâwi dan al-Mubârakfûri memahami hadis tersebut secara ketat, sehingga dalam keadaan apapun pelarangan menjulurkan pakaian tetap berlaku dan agama meng-haramkannya. Sedangkan al-Asqalâni, al-Abadiy dan al-Faqîh Ibn ‘Abd. Albâr memahami hadis tersebut secara moderat, sehingga pelarangan menjulurkan pakaian hanya berlaku bagi mereka yang ingin besikap sombong.
Jika pendapat ulama-ulama lainnya ditelusuri lebih lanjut, tentu saja akan menghasilkan rumusan kesimpulan yang bekisar pada ketentuan yang dikemukakan oleh  ulama-ulama yang disebutkan di atas. Karena itu, cukuplah hal ini menjadi dasar bahwa hadis-hadis tentang menjulurkan pakaian telah dipahami secara berbeda-beda. Akibatnya, pengamalan hadis tersebut berbeda-beda pula di kalangan umat Islam.

III. UPAYA MEMAHAMI HADIS SECARA AKURAT DALAM MERETAS

      IKHTILAF

A. Kandungan Hadis dan Sabab Wurud

Ditegaskan secara global (ijmâli) bahwa hadis pada poin pertama yang telah dikutip, merupakan dalil pelarangan menjulurkan pakaian yang panjangnya sampai menutupi mata kaki, apalagi sampai menyeretnya di tanah bila disertai sikap sombong. Akan tetapi, bila perbuatan tersebut tidak disertai dengan sikap sombong, maka tidak berlaku pelarangan atasnya. Sedangkan hadis kedua, merupakan dalil pelarangan menjulurkan pakaian secara mutlak. Dengan kata lain, walaupun tidak disertai sikap sombong, pelarangan dalam hadis tetap berlaku.
Menurut jumhûr al-muhadditsîn terjadinya suatu hadis karena disebabkan oleh sesuatu yang diistilahkan dengan asbâb al-wurûd al-hadîts, tetapi ada pula sebagian hadis yang tidak didahului  sebab tertentu.[15] Karena itulah, berikut ini hanya dikemukakan satu buah asbâb al-wurûd dari empat hadis yang dikutip terdahulu. Alasannya, karena hanya satu hadis itulah yang ditemukan asbâb al-wurud-nya dalam berbagai kitab rujukan. Hadis yang dimaksud adalah tentang pelarangan menjulurkan pakaian karena disertai sikap sombong yang bersumber dari Abû Huaryrah, yakni :
Abu Hurayrah telah melihat seorang raja[16] yang menurunkan pakaiannya untuk menghadap kepada Nabi saw. dan Nabi pun melihat raja itu datang kepadanya dengan kondisi pakaian yang  demikian. Lalu, Abu Hurayrah berkata di depan Nabi saw : datang seorang raja – datang seorang raja (dua kali). Lalu Nabi saw bersabda :لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا [17] (Allah tidak memperhatikan orang-orang pada hari kiamat bagi yang menjulurkan kaiannya karena sombong).
B. Implementasi Maksud Hadis
Pada dasarnya, Islam tidak menentukan bagaimana tipe dan mode pakaian yang harus digunakan, selama pakaian itu sesuai dengan ketentuan agama. Sehingga Nabi saw sendiri senantiasa menyesuaikan bentuk pakaian yang harus digunakannya. Misalnya saja, kalau beliau dalam peperangan maka pakaian yang sering digunakannya adalah baju besi, sementera dalam suasana lain, maka lain pula bentuk pakaiannya. Hanya saja, pakaian yang lazim digunakan bangsa Arab sejak zaman dulu sampai sekarang ini adalah jubah, yakni kemeja longgar-longgar dan agak tipis yang panjangnya sampai di atas mata kaki. Bentuk pakaian seperti ini, memang cocok untuk bangsa Arab karena iklimnya yang panas. Bahkan dengan iklim yang demikian itu, mengharuskan mereka untuk memakai igal[18] sampai ke punggung untuk menghalang sengatan terik matahari. Lain halnya dengan orang-orang di luar jazirah Arab yang iklimnya dingin, mereka lebih memilih kemeja yang ketat dan tebal untuk merasakan kehangatan. Kalau begitu, tipe dan mode pakaian harus disesuaikan dengan kondisi. Itulah sebabnya sehingga dalam QS. al-Nahl (16): 81 Allah swt berfirman :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُون َ(81)
Terjemahnya :
Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang me-meliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).[19]
Berdasar dari ayat di atas, maka pakaian di sini berfungsi sebagai pemeliharaan tubuh terhadap sengatan panas dan dingin. Interpretasinya, agama sangat menganjurkan kepada para desainer dan tukang jahit untuk memproduksi berbagai bentuk pakaian yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga, setiap masyarakat dari masa ke masa boleh saja menentukan tipe dan mode pakaian sesuai kebutuhan.
Implikasi yang ditimbulkan akibat tipe dan mode pakaian itu, sungguh telah menjadi realita di zaman modern ini dengan munculnya berbagai jenis pakaian dan masyarakatpun dengan leluasa menggunakannya sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Misalnya saja, stelan jas banyak diguna-kan ketika hendak ke acara seminar, pesta dan pertemuan-pertemuan resmi; stelan kaos banyak digunakan ketika hendak bersantai, berpiknik dan berolahraga. Implikasi berikutnya, muncul pula berbagai merek pakaian yang disesuaikan dengan selera masyarakat. Misalnya saja, batik bagi orang tua dan levis bagi anak muda masa kini.
Kesemua tipe dan mode pakaian di atas, tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran agama sepanjang dapat digunakan untuk menutup aurat, karena ide dasar dari perintah untuk berpakaian adalah untuk menutup aurat.[20] Lalu, kenapa Nabi saw memberi pelarangan untuk menjulurkan pakaian sampai di bawah mata kaki ? Jawabnya, pelarangan itu hanya bersifat individu yang ditujukan kepada orang-orang yang bersikap sombong misalnya sang raja[21] yang datang kepada Nabi saw. Di samping itu, pelarangan dalam hadis hanya berlaku pada zaman Nabi saw, karena telah menjadi budaya (ketika itu) bahwa nilai menjulurkan pakaian sambil berjalan sebagai suatu kesombongan. Itulah sebabnya sehingga agama melarang berjalan di bumi ini dalam keadaan sombong.[22]
Terkait dengan jawaban di atas, perlu pula dipahami bahwa di antara tujuan disyariatkan untuk berpakaian adalah sebagai perhiasan,[23] sehingga agama menganjurkan untuk memakai perhiasan itu, lebih-lebih ketika hendak berkunjung ke mesjid.[24] Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok.[25] Memang Alquran tidak menjelaskan, apalagi merinci apa yang disebut dengan perhiasan, atau sesuatu yang elok tetapi dapat dipahami bahwa yang sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan keserasian.[26] Untuk stelan jas, sangat serasi jika kainnya sampai menutupi mata kaki, stelan baju tentara sangat serasi jika kainnya sampai menutupi  mata kaki, stelan baju tim pemadam kebakaran sangat serasi bila kainnya sampai menutupi mata kaki, stelan baju kantoran sangat serasai bila kainnya sampai menutupi mata kaki, yang kesemuanya ini telah menjadi ketetapan para desainer dan tukang jahit. Dengan stelan-stelan pakaian seperti itu pula, belum pernah difatwakan oleh ulama (khususnya MUI) sebagai suatu pakaian yang dianggap haram.
Sangatlah ironis bila stelan pakaian di atas, dengan sengaja dilipat ke atas dengan maksud untuk memperlihatkan mata kaki, karena dengan begitu tentu akan menghilangkan keserasian dan juga tidak menghargai profesi para desainer yang memang ahli di bidang itu. Bahkan, sikap seperti itu mungkin saja dapat dikategorikan sebagai suatu kesombongan. Lain halnya bila berjalan di genangan air, tentu saja terwujud keserasian bila pakaian dilipat ke atas atau bahkan digulung sampai ke lutut guna menghindari percikan genangan air.
Penjelasan di atas, tentu saja akan bermuara pada penyataan Imâm al-Ghazâli bahwa :
Sebagian di antara para pemuda mengira bahwa jubah (kemeja yang panjangnya sampai di atas mata kaki) adalah pakaian atau seragam Islam. Dan bahwa stelan baju dan celana adalah pakaian orang kafir ! Pendapat seperti ini keliru …
Di pelbagai ibukota internasional, jubah Arab kini justru menjadi perlambang keborosan yang dungu, pelampiasan syahwat hawa nafsu yang liar dan gila-gilaan. Dengan cara seperti itukah kita berkhidmat kapada Islam dan menyebarkan dakwahnya ?[27]
Karena itulah, hadis tentang menjulurkan pakaian karena (niat) sombong atau tidak (dengan niat) sombong harus dipahami subtansinya secara akurat dengan melihat kondisi budaya Arab ketika hadis itu disabdakan oleh Nabi saw.
Dalam berbagai dalilpun tidak ditemukan penjelasan tentang motif dan mode pakaian yang harus dipakai oleh setiap Muslim dalam kesehariannya. Dengan demimian, persoalan tentang pakaian yang terjulur di atas atau di bawah mata kaki adalah persoalan budaya. Semakin maju budaya umat manusia, semakin bervariasi pula motif dan mode pakaian manusia itu.
IV. PENUTUP
Hadis-hadis tentang menjulurkan pakaian yang terdapat dalam Shahîh Bukhâri dan Shahîh Muslim, telah menjadi obyek ikhtilâf dalam cara memahaminya. Yakni, sebagian umat Islam memahami bahwa pakaian yang terjulur ke bawah tidak boleh melewati mata kaki secara mutlak, sementara sebagian lainnya memahami bahwa pakaian yang terjulur ke bawah boleh saja melewati mata kaki sepanjang tidak disertai sikap sombong. Dari pemahaman yang berbeda-beda itu, mengakibatkan cara pengamalan-nyapun berbeda-beda.
Terlepas dari perbedaan pemahaman dan pengamalan terhadap hadis-hadis tentang menjulurkan pakaian, maka secara obyektif dapat dinyatakan bahwa setelah mengetahui maksud hadis itu secara komprehensif dan menyimak asbâb al-wurud-nya, serta merelevansikan corak budaya Arab ketika hadis disabdakan akan bermuara pada suatu rumusan bahwa agama tidak melarang menjulurkan pakaian ke bawah melewati mata kaki. Asalkan saja, pakaian yang dimaksud memang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian pelarangan dalam hadis hanya dikhususkan pada zaman Nabi saw, yang ketika itu nilai-nilai menjulurkan pakaian adalah suatu kesombongan.
Untuk budaya zaman sekarang, rupa-rupanya menjulurkan pakaian ke bawah melewati mata kaki tidaklah dinilai sebagai suatu kesombongan, melainkan dinilai sebagai suatu keserasian dalam berpakaian dan ajaran agama sangat menuntut keserasian seperti itu. Bahkan, agama dalam hal ini memberi peluang kepada para desainer untuk mempersembahkan berbagai tipe dan mode pakaian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Asalkan saja, tipe dan mode pakaian itu dapat digunakan untuk menutup aurat.
Wallahu A’lam bi al-Sawab[].
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abadiy, Abû al-Thâyb Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm. ‘Awn al-Ma‘bûd Syah Sunan Abû Dâwud, juz XI. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Asqalâni, Ahmad bin Hajar. Fath al-Bâry bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz X. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th.
Al-Bukhâriy, Abû ‘Abdullah ibn Ismâ‘îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrat ibn Bardizbât. Shahîh al-Bukhâri, juz VII. Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II. Cet.I; Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Al-Ghazâli, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Cet. V; Bandung: Mizan, 1989.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan Press Ltd, 1974.
Ibn Fâris bin Zakariyah, Abû al-Husayn Ahmad. Mu‘jam Maqâyis al-Lugah, juz VI. t.t. Dâr al-Fikr, t.th.
Ibn Hamzah al-Husayni, Ibrâhim Muhammad. al-Bayân wa al-Ta‘rîf Asbâb al-Wurûd al-Hadîts al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Turâts al-‘Arabi, t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Cara Praktis  Mencari Hadis. Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
              . Hadis nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal Temporal dan Lokal. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang 1994.
Al-Mubârakfûri, Abû al-A‘lâ Muhammad bin ‘Abd. al-Rahmân. Tuhfah al-Ahwâs bi Syarh al-Turmûziy, juz V. t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Al-Naisabûri, Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusayrî. Şahîh Muslim, jilid III. Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th.
Al-Nawâwi, Abû Zakariyah Yahya ibn Syaraf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, juz XIII. Me¡ir: Dâr al-Fikr, 1981.
               . Riyâ« al-Shâlihîn diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dengan judul yang sama. Cet. X; Bandung: Al-Ma’arif, 1987.
Al-Shan‘âniy, Muhammad bin Ismâ‘îl al-Kahlâni. Subul al-Salâm bi Syah Bulûg al-Marâm, juz IV. Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Shihab, M. Quraish. Kata Pengantar dalam Muhammad al-Baqir, terjemahan buku dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Cet. V; Bandung: Mizan, 1989.
              . Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. II; Bandung, Mizan, 1996.
Wensinck, Arnold John. et al, Concordance et Indices De Ela Tradition Musulmanne, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fû’ad Abd. al-Bâqiy dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadîts al-Nabawiyah, jilid I, II dan VI. Leiden: E.J.Brill, 1936. []



[1]Lihat QS. Ali ‘Imrân (3): 144 dan QS. al-kahfi (18): 110
[2]Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1974), h. 139.
[3]Lihat M. Quraish Shihab, Kata Pengantar dalam Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Cet. V; Bandung: Mizan, 1989), h.  9-10
[4]Susunan sanad dan matan hadis sesuai redaksi aslinya akan dikemukakan pada uraian-uaraian berikutnya.
[5]Lihat misalnya; Sunan Abû Dawûd  dalam Kitâb Libâs bab 25-27, Kitâb Nikâh bab 42, Kitâb Shalâh bab 71-72; Sunan al-Turmûziy dalam Kitâb Libâs bab 7-9, Kitâb Buyû‘ bab 5; Sunan al-Nasâiy dalam Kitâb Zakâh bab 29, Kitâb Zinah‘ bab 17; Sunan Ibn Mâjah dalam Kitâb Libâs bab 2, Kitâb Masâjid bab 14; Muwaththa’ Mâlik dalam Kitâb Libâs nomor hadis 9-12; Sunan al-Dârimiy dalam Kitâb Riqâq bab 45; Musnad Ahmad bin Hanbal dalam juz I halaman 38, 322, 397, juz II halaman 5, 10, 32, 42, juz III halaman 44, 89, juz IV halaman 65, 67, 180, 246, juz V halaman 23, 24, 79 dan juz VI halaman 200. Data-data ini, diperoleh dari Arnold John Wensinck, et al, Concordance et Indices De Ela Tradition Musulmanne, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fû’ad Abd. al-Bâqiy dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadîts al-Nabawiyah, jilid I (Leiden: E.J.Brill, 1936), h. 59, juz II h. 104-105; juz VI h. 476.
[6]Abû ‘Abdullah Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrat ibn Bardizbât al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâri, juz VII (Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th). h. 44.
[7]Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusayrî al-Naisabûri, Şahîh Muslim, jilid III (Beirût: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah, t.th.), h. 1651
[8]al-Bukhâri, op. cit., h. 45.
[9]Muslim, loc. cit.
[10]Lihat Ahmad bin Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâry bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz X (t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th.), h. 263.
[11]Lihat Abû Zakariyah Yahya ibn Syaraf al-Nawâwi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, juz XIII (Me¡ir: Dâr al-Fikr, 1981), h. 60 dan 63.
[12]Lihat Abû al-A‘lâ Muhammad bin ‘Abd. al-Rahmân al-Mubârakfûri, Tuhfah al-Ahwâs bi Syarh al-Turmûziy, juz V (t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th), h. 407.
[13]Lihat Abû al-Thâyb Muhammad Syams al-HAlquran al-‘Azhîm al-Abadiy, ‘Awn al-Ma‘bûd Syah Sunan Abû Dâwud, juz XI (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 142.
[14]Demikian pendapat al-Faqîh Ibn ‘Abd. Albâr yang termaktub dalam al-Asqalâni, loc. cit.
[15]Uraian lebih lanjut, lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang 1994), h.  5
[16]Riwayat tidak menyebutkan nama dan asal raja tersebut. Hal ini, dimungkinkan karena memang Nabi saw seringkali menerima tamu dari raja-raja (dari berbagai wilayah) dan semua raja ketika itu menggunakan pakaian yang panjangnya sampai menutupi mata kaki.
[17]Lihat Ibrâhim Muhammad ibn Hamzah al-Husayni, op. cit.,. cit., h. 418-419.
[18]Igal adalah pakaian yang dipakai di kepala untuk lelaki bangsa Arab. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Cet.I; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 366
[19]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota, 1989), h. 414.
[20]Lihat QS. al-A‘râf (7): 27.
[21]Lihat kembali fotnoote  29-30,
[22]Lihat QS. al-Isrâ’ (17): 37 dan QS. Luqmân (31): 18.
[23]Lihat QS. al-A‘râf (7): 26
[24]Lihat QS. al-A‘râf (7): 31.
[25]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., op. cit., h. 349.
[26]Lihat M. Quraish Shibab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. II; Bandung, Mizan, 1996), h. 163
[27]Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Cet. V; Bandung: Mizan, 1989), h. 112